Jumlah penduduk Negara Indonesia 300
juta jiwa, konsumen Indonesia merupakan konsumen keempat terbesar di dunia di
belakang China, India, dan Amerika Serikat. Sungguh secara kualitatif merupakan
anugerah yang tak ternilai harganya karena rata-rata 329kg perkapita setiap
tahunnya.
Maka dari itu, sangat wajar jika isu
yang terkait kebutuhan pokok konsumen pasti akan mengundang sorotan tajam dan
perbincangan serius di tengah masyarakat. Katakanlah kemunculan beras plastik
ternyata cukup menghebohkan jagat Indonesia. Bagaimana tidak, berita tersebut
ternyata mampu mengalahkan berita peristiwa besar lain. Harus diakui, hebohnya
isu ini cukup membawa dampak yang tidak kecil bagi masyarakat dan pemerintah.
Sampai-sampai kehebohan isu beras
plastik menggiring masyarakat beralih membeli kebutuhan pokok ini dari pasar
tradisional ke pasar modern. Masalah ini terus mengalir seperti air yang deras,
kini mengalir ke meja Badan Reserse Kriminal (Bareskrim). Uji laboratorium
dilakukan oleh Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor), Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) dan Laboratorium Sucofindo. Hasilnya, seperti yang kita ketahui
terdapat campuran kimia yang terkandung dalam beras itu.
Berdasarkan hasil uji
laboratorium yang diumumkan PT Sucofindo diketahui, beras-beras tersebut
mengandung 3 bahan kimia berbahaya.
"Kami melakukan uji laboratorium dengan alat yang sensitif dan profesional. Beras ini dibedakan sampel 1 dan 2, secara fisik hampir sama. Hasilnya ada suspect, kandungan yang biasa digunakan untuk membuat bahan plastik," ujar Kepala Bagian Pengujian Laboratorium Sucofindo, Adisam ZN, dilansir Liputan6.com di Bekasi, Jawa Barat.
Adisam mengaku ada senyawa plasticizer penyusun plastik yang ditemukan dalam beras tersebut. Antara lain Benzyl butyl phthalate (BBP), Bis(2-ethylhexyl) phthalate atau DEHP, dan diisononyl phthalate (DIN). "Senyawa plasticizer ini biasa digunakan untuk melenturkan kabel atau pipa plastik," ujar dia.
Dia mengungkapkan, pengujian ini dilakukan menggunakan alat spektrum infrared untuk melihat apakat terdapat senyawa polimer seperti plastik dalam beras tersebut. Hasilnya, kata dia, terdapat senyawa yang identik dengan polimer. "Beras alami, tidak mengandung senyawa-senyawa seperti ini," kata Adisam.
"Ada senyawa lain dalam kandungan beras tersebut
yang sengaja dicampur. Kami menduga, ada kesengajaan memasukkan senyawa lain
yang dicampur dengan beras," ucap dia.
Adisam menjelaskan, beras palsu itu tak dapat dicerna oleh lambung. Dan bila dikonsumsi secara terus-menerus dapat menyebabkan kanker. Hal ini sudah pernah diuji pada tikus.Di Eropa, senyawa ini bahkan sudah dilarang digunakan dalam komponen mainan anak. Apalagi untuk bahan makanan.
Adisam menjelaskan, beras palsu itu tak dapat dicerna oleh lambung. Dan bila dikonsumsi secara terus-menerus dapat menyebabkan kanker. Hal ini sudah pernah diuji pada tikus.Di Eropa, senyawa ini bahkan sudah dilarang digunakan dalam komponen mainan anak. Apalagi untuk bahan makanan.
Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Konsultan Gastroenterologi Hepatologi Ari Fahrial Syam
mengungkapkan, plastik yang merupakan benda asing dalam tubuh bisa merusak
sistem pencernaan manusia. Lebih dari itu, zat kimia pada plastik dapat merusak
sejumlah organ penting dalam tubuh manusia seperti ginjal, hati, dan bisa
menyebabkan kanker. Bahkan, jika dikonsumsi dalam jumlah banyak, bukan tak
mungkin bisa mengganggu sistem saraf di otak.
Dan juga Tjandra Yoga Aditama, Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Kemenkes Indonesia Kementerian Kesehatan
(Kemenkes) Indonesia menyatakan ada 3 (tiga) kemungkinan bahaya jika
mengonsumsi beras plastik.
Pertama, trauma akibat fisik komponen plastik ke saluran cerna
walaupun tentu berkurang kalau sudah jadi lembut.
Kedua, dampak lokal akibat bahan kimia atau mungkin kontaminan apa yang ada dalam plastik yang dipakai. Meskipun ini akan tergantung jenis plastiknya.
Ketiga, kemungkinan kalau bahan dalam plastik itu lalu terserap masuk pembuluh darah melalui mukosa saluran cerna, lalu menyebar ke seluruh tubuh.
Kedua, dampak lokal akibat bahan kimia atau mungkin kontaminan apa yang ada dalam plastik yang dipakai. Meskipun ini akan tergantung jenis plastiknya.
Ketiga, kemungkinan kalau bahan dalam plastik itu lalu terserap masuk pembuluh darah melalui mukosa saluran cerna, lalu menyebar ke seluruh tubuh.
Apabila benar beras plastik telah beredar,
bagi importir, distributor dan pengecer beras plastik tersebut bisa dikenakan
sanksi berdasarkan UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pasal 140 yang
menyebutkan, "Setiap orang yang memproduksi dan memperdagangkan pangan
yang dengan sengaja tidak memenuhi standar keamanan pangan sebagaimana dimaksud
pasal 86 ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan denda
paling banyak Rp 4 miliar".
UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pasal 62 menyebutkan jika pelaku usaha melanggar hak-hak konsumen, terutama atas jaminan hak keamanan pangan, maka pelaku usaha dapat dikenakan pidana penjara selama lima tahun dan denda paling banyak Rp2 miliar.
UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pasal 62 menyebutkan jika pelaku usaha melanggar hak-hak konsumen, terutama atas jaminan hak keamanan pangan, maka pelaku usaha dapat dikenakan pidana penjara selama lima tahun dan denda paling banyak Rp2 miliar.
Kumpulan peraturan itu bertujuan untuk melindungi
kepentingan nasional. Hak konsumen harus ditegakkan agar kedaulatan pangan
tidak sekadar basa-basi. Penegakan hukum mesti dilakukan lebih intensif.
Meminimalkan produk barang yang tidak layak konsumsi adalah keniscayaan.
Tindakan hukum perlu dilakukan, selain untuk perlindungan konsumen, juga untuk
pengamanan pasar dalam negeri. Sekaligus pula mendukung terciptanya kepastian
hukum dan jaminan berusaha di Indonesia.
Kasus beras plastik menunjukkan betapa masih rendahnya tanggung jawab pelaku usaha, lumpuhnya proteksi hukum dan minimnya regulasi keberpihakan kepada konsumen. Sekali lagi, konsumen dikhianati dan terus dijadikan sebagai korban.
Karena itu, perlu terus menggugat keseriusan pemerintah untuk melindungi hak konsumen. Hak konsumen sebagaimana UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan, seperti pasal 4, "Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa", ternyata masih jauh dari asa. Sejatinya pemerintah harus menindak tegas semua pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. Norma hukum sudah ada, tinggal diimplementasikan.
Kasus beras plastik menunjukkan betapa masih rendahnya tanggung jawab pelaku usaha, lumpuhnya proteksi hukum dan minimnya regulasi keberpihakan kepada konsumen. Sekali lagi, konsumen dikhianati dan terus dijadikan sebagai korban.
Karena itu, perlu terus menggugat keseriusan pemerintah untuk melindungi hak konsumen. Hak konsumen sebagaimana UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan, seperti pasal 4, "Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa", ternyata masih jauh dari asa. Sejatinya pemerintah harus menindak tegas semua pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. Norma hukum sudah ada, tinggal diimplementasikan.
Pada hakikatnya konsumen adalah
pengguna semua bentuk barang dan jasa yang harus diberi kepastian atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan terhadap barang yang dikonsumsinya.
Pelayanan yang berkualitas dan optimal terhadap publik menjadi sebuah
kemungkinan. Namun, hal itu bisa dilakukan jika pemerintah dan pelaku usaha
(produsen) memberikan perlindungan yang optimal kepada konsumen dan pada
gilirannya akan meningkatkan harkat dan martabat konsumen.
Sangat diperlukan sekali ditumbuhkan
kebiasaan mengadu yang merupakan bagian dari sikap kritis konsumen sekaligus
menjadi indikator baik atau tidaknya perlindungan konsumen di suatu negara.
Budaya mengadu konsumen Indonesia masih sangat rendah. Sebaliknya sikap pasrah
atau menerima keadaan masih menjadi suatu pilihan dari masyarakat. Karena itu,
apa yang dilakukan Dewi Septiani, pelapor akan adanya beras sintetis di Bekasi,
adalah refleksi dari sikap kritis konsumen.
Bukan malah yang bersangkutan diancam
untuk dipidanakan karena dianggap menyebarkan isu yang meresahkan masyarakat.
Masalah beras plastik ini sesungguhnya di satu sisi memberi dampak positif, yaitu
membangun sikap kritis konsumen terhadap hak-hak dasar yang dimilikinya.
Terbukti dari masalah tersebut
konsumen tampak lebih reaktif terhadap berbagai ketidaknyamanan dan berbagai
ancaman terhadap makanan yang bisa merusak kesehatan konsumen. Hal lainnya,
kita juga menyaksikan berbagai pemangku kepentingan dalam hal ini berperan
aktif mengkritik persoalan beras plastik yang ditemukan di daerah Bekasi.
Bahkan Badan Urusan Logistik (Bulog)
dibuat panik. Tidak hanya itu, Kementrian Perdagangan dan Kementrian Pertanian
juga menunjukkan rasa empati atas kejadian yang menimpa kepada konsumen.
Penemuan beras palsu atau beras sintesis asal China mengingatkan kepada kita
semua (konsumen) bahwa lingkungan kita saat ini tidak terbebas dari produk
makanan dan minuman berbahaya.
Peran petinggi negeri ini sebagai
lembaga yang ditugaskan mensejahterakan rakyat tentu diharapkan lebih antusias
dan berempati kepada hak-hak konsumen (vide UU Nomor 8/1999 tentang
Perlindungan Konsumen). Sebab, sangat mustahil kita berbicara kualitas
perlindungan terhadap hak-hak konsumen jika pemerintahan yang berjalan tidak
peduli pada hal-hal yang berkaitan dengan konsumen itu sendiri.
Dengan demikian, sekali lagi harapan
kita (konsumen) terkait kebijakan atau regulasi pemerintah selaku regulator
haruslah benar-benar memberi pemihakan dan atau perlindungan kepada konsumen.
Dengan kata lain, kebijakan yang dikeluarkan oleh para menteri terkait haruslah
terhubung dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat (konsumen).
Rendahnya sikap pemerintah yang
terjadi akhir-akhir ini, tentu akibat berbagai kebijakan yang tidak prokonsumen
atau tidak memberikan pemihakan kepada konsumen selaku objek kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal, tanpa kebijakan yang memberi perlindungan
kepada konsumen atau tanpa agenda perlindungan konsumen yang jelas, mustahil
pemerintah mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen.
Semua hal tersebut dapat
direalisasikan ketika kecemasan konsumen semakin memprihatinkan akhir-akhir
ini. Dapat dilihat ketika kebutuhan pokok seperti beras plastik di Bekasi,
terungkapnya pabrik es batu di Cakung Jakarta Timur, terbongkarnya pembuatan
nata de coco yang dicampur pupuk ZA, bahan kimia berbahaya lain yang sering
digunakan adalah formalin, pabrik susu di Klaten diduga menggunakan zat pewarna
kimia.
Padahal bagaimanapun negara harus
hadir ketika terjadi gangguan kebutuhan dasar konsumen yang berdampak pada
terjadinya ketidaknyamanan konsumen. Dengan kata lain, negara harus memberi
pemihakan yang jelas untuk melindungi kepentingan rakyat sebagai sebuah wujud
nyata peranan negara kepada rakyatnya.
Pada akhirnya, ekspetasi kita
peringatan Hari Konsumen Nasional (Harkonas 2015) yang diperingati pada 20
April lalu akan menjadi titik berangkat semua pihak yang berkaitan dengan
masalah konsumsi untuk menghormati hak- hak konsumen. Jika hal ini terus
berlanjut, mau tak mau efek positifnya adalah berkurangnya kecemasan konsumen
dalam mengonsumsi bahan makanan dan minuman. Dan satu kata dari saya bahwa
kehidupan manusia ialah diatas segala-galanya.